Candramawa dalam Swastamita

22.02 Mettia Indar Pratami 0 Comments



di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu

dalam intiku
kau terbenam

Potongan sajak kecil milik Sapardi, yang selalu kau hembuskan dalam setiap katamu, menjadi medium pembicaraanku dengan semesta malam ini. Menggelitik, bukan? Bagaimana aku menggunakan magismu untuk menembus sekat-sekat fatamorgana yang bahkan belum pernah terjamah sebelumnya.

Katamu, tidak akan sanggup  batinku mengemban asa dan rasa yang berakar dari kemuslihatan. Sebongkah probabilitas yang kupinta pun enggan kau berikan. Sebegitu hinakah aku? Hingga sampai hati kau hempas kemaslahatan yang kurangkai bertahun-tahun.

Masih jelas terukir dalam benakku saat kau lebih memilih untuk  menanti fajar daripada mengejar senja. Saat itu, yang ingin kulakukan hanyalah membunuh sang waktu. Aku tercenung kala tatapan kita bersinggungan pada titik yang sama. Tatapan teduh itu membuat nadiku melesat jauh. 

Ego ini seakan berusaha merestorasi setiap inci ruang yang pernah berimpitan. Sudut yang selalu kuharapkan untuk terus bersilangan di antara ribuan binar dan pijar. Namun, kau bilang, untuk tidak menjadikanmu sebagai rumah karena kau yakin bahwa hadirmu tidak lebih dari seorang tamu yang membutuhkan tempat untuk bersinggah sejenak. Sekali lagi, kau mematahkan kedamaianku sejadi-jadinya.

Seperti Plato yang percaya bahwa realitas itu terbagi menjadi dua wilayah; dunia indra dan ide. Demikian pun aku yang beriman bahwa meleburmu di dalam imajiku akan memudahkan ritus jiwaku untuk meneguk sukmamu. Karena aku (sekali lagi) mengamini apa yang dikatakan Plato, “meskipun dunia ide tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi angan-angan itu bersifat kekal dan abadi”.

Aku bertahan menikmati keabsurdan yang semakin hari semakin menguat  pijakannya. Mungkin sia-sia bagimu sekeping senja yang kuberikan. Sungguh tak mengapa andaipun demikian. Aku mengilhaminya sebagai produk dari asimilasi partikel perbedaan yang ada. Seperti katamu, menanti fajar adalah kegemaranmu, sedangkan mengejar senja adalah keseharianku.

Bergulat menelisik ketaksaan yang hinggap pada kalimat-kalimatmu membuat akal dan nuraniku berselisih paham.  Aku tak sepandai dirimu dalam beretorika. Satu hal yang harus kau tahu; aku selalu mengirimkan dogma-dogma rindu dan cita di setiap penghujung hari. 

Aku bukanlah Apollo, Dewa  ramalan yang dapat menerawang takdir. Tak akan kugugat bagaimanapun Tuhan menghendaki kehidupanmu nantinya. Namun, untuk saat ini biarkanlah aku untuk tetap berhasrat menunggu kepulanganmu dan mengisi setiap bait penatmu selama semesta masih mendukung. 


Semesta, pada swastamita yang nirmala

XX
-MIP-






0 komentar:

Poem

An Eternal Supernova

22.04 Mettia Indar Pratami 0 Comments


I got a scar
shot by a gigantic star.
Keeping this flaw
As deeper as it can claw.

Getting numb,
Getting dumb.
Scratching the tears,
Repeating for years.

My heart is aching.
My brain stops working.

I’m dying for an hour,
For glaring the famishment,
Tasting bitter and sour.

You cannot tell,
Whether I’m on the hill or in hell.
Since it’d be the same
Since it’d be the same.

I’m bleeding,
I’m bleeding,
I’m bleeding.




0 komentar:

Poem

The Analogy of Six

21.32 Mettia Indar Pratami 0 Comments


Six is my lucky number
Six is the beginning of this slumber
Six is the month of my dad and sister
Six is the only hope to be better.

Yet, six is another scream of string
Six is how yelling consumed more than smiling
And six is the shape of rotten hearts,

Having no clue what’s the matter of six
Looking up and down just makes me sick
Drowning into the ocean that’s what it licks.

Being six is kind of bitter nor sweet.
Isolating the shame and guilt to feed the devil’s word.
finding a space to sit for a minute.
blowing the strength, blaming the sword.
for cutting the heartbeat we live in,
for slashing the root we faith in.

0 komentar: