Poem

Frasa Fase

19.33 Mettia Indar Pratami 0 Comments

Rebas sudah seluruh bulir berharga...
kering
pelupuk
merah membara
rintikan
hitam legam
sekeping daging
tersungkur oleh laungan 
makhluk 
tanpa nurani.

Menerkam sesuka diri
melindas tanpa belas kasih
o, kebisingan ucapan hewan
lenyap
bersama senyap.

Duhai makhluk berakar kenihilan
haruskah sigma F sama dengan nol?
diam
pada siapa?
aku berkata kau
kau berkata aku
aku
kau
musnah.

Kemasygulan ini
menawarkan beragam sayatan
tak beraturan
bertumpuk-tumpuk
bertahun-tahun
berulang-ulang
ah, 
fase yang amat lunyai.

Lucuti saja
nanti
esok
atau lusa
kecamaran akan pupus
walau harus mengorbankan yang tulus.

—20161203


0 komentar:

Poem

Tabula Rasa

21.54 Mettia Indar Pratami 0 Comments




Secarik ‘tabula rasa’ tersimpan rapi
tertimbun tumpukan tak berpenghuni
dikendalikan daya magis nurani
menorehkan tinta,
melumpuhkan logika.

Apa gerangan kotak mungil itu?
menampung berjuta sorot sinar sendu
lepas bersama renyah tawa sukma
melambung di antara putih biru atap dunia.

Usah kau sedu-sedan,
tak melulu soal perasaan
apa yang kau pikirkan tak harus berselisih dengan keadaan
pagi kau caci, malam kau hakimi
panas kau umpat, hujan kau laknat
kau sama sepertiku, tak pernah memuji nikmat
yang ada hanya kalimat menyayat.

Detik ini ia bersiap pergi
bukan karena benci atau tak tahu diri
“ruanganku sudah terpenuhi,” katanya
ia tak akan kembali
walau hanya mampir untuk basa-basi.

Pada sembilan malam, empat sepuluh enambelas

—mIp

0 komentar:

Poem

Kedipan Aksara

21.16 Mettia Indar Pratami 0 Comments

Tik…tok…tik…tok…
Lagit-langit bersorak risau.
Lidahnya membelit pagar di ujung randu.
Kelu; enggan berseteru.

Semak belukar bercerita,
seorang pujaan dewa meleleh di bakar tawa.
Urat leher meliuk mencengkram suaranya;
terkunci di kolam nirwana.

Pesan kalbu terpancar melewati tembok kenestapaan.
“bersulanglah bersama kegelapan, ruhku terbang meminum kemurkaan.”

Aroma aksara yang terlontar menyelimuti dua kutub.
Begitu nikmat, bukan?
Menyerang raga,
menebas kepingan hati.

Ah, ikuti saja keduanya dan berharap celotehan itu terlukis pada ranting yang basah.

ditemani segelas luapan keegoisan pada pukul sembilan malam.



0 komentar:

Poem,

Blank Space

21.31 Mettia Indar Pratami 0 Comments

Monday, April 18, 2016 | 21:31

Hampa; tak berisi, sepi, sendiri.
Bagai kaleng kosong tak berpenghuni.
Merana; meratapi gambar diri.
Gambar diri yang kini tiada arti;
hanya secarik kertas yang menjadi sampah.

Hampa; tak berarti buta, 
hanya saja tak berdaya; 
dengan keadaan yang ada.

Resah; sepotong rasa yang memaksa untuk dimengerti.
Bahwa hidup ini bukan melulu tentang ekspektasi yang tinggi.
Andai hati bisa bicara, pastilah ia berani beradu emosi.
Sesak; seakan peluru tajam hendak meluncur ke bumi.
Semesta paham akan semua ini.
Tak selayaknya secarik sampah berargumentasi.

Darah ini tak mengalir lagi; membeku.
Denyut nadi seakan berhenti, seirama dengan keadaan ini.
Jantung terus mengoyak seakan mengajak berseteru,
siapa aku? Hanya secarik sampah yang tak bermutu.

Mataku berkabut.
Kabut tebal yang menghalangi pandangan ini,
tak kuasa kubendung cairan emosi.
Tumpah membasahi pipi.
Terjebak dalam balutan melodi.
Siapa yang peduli?
Secarik sampah menyerah,
bukan karena salah.
Titik puncak kehidupan telah diraih.

Aku berhenti.
Tak berjalan lagi.
Menengok pun tak sudi.
Berjuta coretan luka tercipta.
Hanya memperkeruh suasana.

Kini secarik sampah telah lelah menghadapi pahitnya kehidupan ini, memilih untuk berhenti; tak bersusah payah lagi.

0 komentar: