Candramawa dalam Swastamita
di langit-langit
tempurung
kepalaku
terbit
silau
cahayamu
dalam intiku
kau terbenam
Potongan sajak kecil milik Sapardi, yang selalu
kau hembuskan dalam setiap katamu, menjadi medium pembicaraanku dengan semesta
malam ini. Menggelitik, bukan? Bagaimana aku menggunakan magismu untuk menembus
sekat-sekat fatamorgana yang bahkan belum pernah terjamah sebelumnya.
Katamu, tidak akan sanggup batinku mengemban asa dan rasa yang berakar
dari kemuslihatan. Sebongkah probabilitas yang kupinta pun enggan kau berikan. Sebegitu
hinakah aku? Hingga sampai hati kau hempas kemaslahatan yang kurangkai
bertahun-tahun.
Masih jelas terukir dalam benakku saat kau lebih memilih untuk menanti fajar daripada mengejar senja. Saat itu, yang ingin kulakukan hanyalah membunuh sang waktu. Aku tercenung kala tatapan kita bersinggungan pada titik yang sama. Tatapan teduh itu membuat nadiku melesat jauh.
Ego ini seakan berusaha merestorasi setiap inci ruang yang pernah berimpitan. Sudut yang selalu kuharapkan untuk terus bersilangan di antara ribuan binar dan pijar. Namun, kau bilang, untuk tidak menjadikanmu sebagai rumah karena kau yakin bahwa hadirmu tidak lebih dari seorang tamu yang membutuhkan tempat untuk bersinggah sejenak. Sekali lagi, kau mematahkan kedamaianku sejadi-jadinya.
Seperti Plato yang percaya bahwa realitas itu
terbagi menjadi dua wilayah; dunia indra dan ide. Demikian pun aku yang beriman bahwa meleburmu di dalam imajiku akan memudahkan ritus jiwaku untuk meneguk
sukmamu. Karena aku (sekali lagi) mengamini apa yang dikatakan Plato, “meskipun
dunia ide tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi angan-angan itu bersifat
kekal dan abadi”.
Aku bertahan menikmati keabsurdan yang semakin hari semakin menguat pijakannya. Mungkin sia-sia bagimu sekeping senja yang kuberikan. Sungguh tak mengapa andaipun demikian. Aku mengilhaminya sebagai produk dari asimilasi partikel perbedaan yang ada. Seperti katamu, menanti fajar adalah kegemaranmu, sedangkan mengejar senja adalah keseharianku.
Bergulat menelisik ketaksaan yang hinggap pada kalimat-kalimatmu membuat akal dan nuraniku berselisih paham. Aku tak sepandai dirimu dalam beretorika. Satu hal yang harus kau tahu; aku selalu mengirimkan dogma-dogma rindu dan cita di setiap penghujung hari.
Aku bukanlah Apollo, Dewa ramalan yang dapat menerawang takdir. Tak akan kugugat bagaimanapun Tuhan menghendaki kehidupanmu nantinya. Namun, untuk saat ini biarkanlah aku untuk tetap berhasrat menunggu kepulanganmu dan mengisi setiap bait penatmu selama semesta masih mendukung.
Semesta, pada swastamita yang nirmala
XX
-MIP-
0 komentar: